Rabu, 20 Juni 2012
Muhammad Abduh
Sejarah dan Pemikiran Muhammad Abduh
A.
Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah,mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya,mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar AlQur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telahhafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika iadikirim ayahnya ke perguruan agama di masjid Ahmadi yang terletak di desaThantha. Namun karena sistim pembelajarannya yang dirasa sangatmembosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, SyekhDarwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang berpengetahuanluas dan penganut paham tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkanstudinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877.Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemudengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, SaidJamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalahseorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik.Udara baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh MuhammadAbduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan
1
Mata Kuliah : PMDIDosen Pembimbing: Drs. Suhermanto Dja'far, M. FilSmt/Jur/Kls: II/TH/AAnggota Kelompok : Muhsin AbidInayatul HikmahM. Wahyudi HeruHafidol Ma'rufahAch. Fauzi dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yangmenuduh dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan ituia menjawab: "Jika saya dengan jelas meninggalkan
taklid
kepada Asy'ary, makamengapa saya harus ber
taklid
kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan
taklid
kepada siapapun dan hanya berpegang kepada dalil yang ada"
B.Sejarah Perjuangan dan Kehidupan Politik
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atasusaha Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia di angkat menjadi dosen padaUniversitas Darul Ulum dan Universitas al Azhar. Dalam memangku jabatannyaitu, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal. Dia menggugatmodel lama dalam bidang pengajaran dan dalam memahami dasar-dasar keagamaan sebagaimana yang dialaminya sewaktu belajar di masjid al-Ahmadidan di al Azhar. Dia menghendaki adanya sistim pendidikan yang mendorongtumbuhnya kebebasan berpikir, menyerap ilmu-ilmu modern dan membuangcara-cara lama yang kolot dan fanatik Sebagai murid Jamaluddin al-Afghani,maka pikiran politiknya pun sangat dekat dengannya. Al Afghanyadalah seorangrevolusioner yang secara serius memandang penting bangkitnya bangsa-bangsatimur guna melawan dominasi Barat.Pada tahun 1879, pemerintahan Mesir berganti dengan turunnya ChediveIsmail dan digantikan puteranya, Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini sangatkolot dan reaksioner sehingga berdampak pada dipecatnya Abduh dari jabatannyadan diusirnya al Afghany dari Mesir. Tetapi pada tahun berikutnya Abduh kembalimendapatkan tugas dari pemerintah untuk memimpin penerbitan majalah "alWakai' al Mishriyah". Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk menuangkan isihatinya dalam bentuk artikel-artikel serta pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.Pada tahun 1882, Abduh dibuang ke Syiria (Beirut) karena dianggap ikutandil dalam pemberontakan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Disini ia mendapatkesempatan untuk mengajar di Universitas Sulthaniyah selama kurang lebih satutahun.
Pada permulaan tahun 1884, Abduh pergi ke Paris atas panggilan al Afghanyyang pada waktu itu telah berada disana. Bersama al Afghany, disusunlah sebuahgerakan untuk memberikan kesadaran kepada seluruh umat Islam yang bernama"al 'Urwatul Wutsqa". Untuk mencapai cita-cita gerakan tersebut, diterbitkanlah pula sebuah majalah yang juga diberi nama "al 'Urwatul Wutsqa". Suarakebebasan yang ditiupkan al Afghany dan Abduh melalui majalah ini menggemake seluruh dunia dan memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadapkebangkitan umat Islam. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kaumimperialis merasa khawatir atas gerakan ini dan akhirnya pemerintah Inggrismelarang majalah tersebut masuk ke wilayah Mesir dan India.Pada akhir tahun 1884, setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah Perancis melarang diterbitkannya kembali majalah
'Urwatul Wutsqa
.Kemudian Abduh diperbolehkan kembali ke Mesir dan al Afghany melanjutkan pengembaraannya ke Eropa.Setelah kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir. Ia juga membuat perbaikan-perbaikan di Universitas al Azhar.Puncaknya, pada tanggal 3 Juni 1899, Abduh mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Mesir untuk menduduki jabatan sebagai Mufti Mesir. Kesempatan inidimanfaatkan Abduh untuk kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dankebangkitan kepada umat Islam.
C.Manhaj Pemikiran keagamaannya
Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan, satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah(Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf). Namun dalam kesempatan ini, penulismemilih hanya membahas sedikit manhaj pemikiran Muhammad Abduh tentangSyariah dan Aqidah. Karena inilah yang mungkin paling mempengaruhi seseorangdalam bertindak.
3
1. Hukum Islam
Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian,yaitu; hukum yang pasti
(al Ahkam al Qath’iyah)
dan hukum yang tak ditetapkansecara pasti dengan nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslimwajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalamal-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, sertadisampaikan oleh kaum muslimin secara berantai dengan praktek. Hukum inimerupakan hukum dasar yang telah disepakati
(mujma’ ‘alaîhi)
kepastiannya. Halini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum yang telah pasti serupaini, seseorang boleh ber
taklid
. Yang kedua adalah hukum yang tidak ditetapkandengan tegas oleh
nash
yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama didalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah
muamalah
, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannyasampai jelas.Disinilah peranan para
mujtahid
, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab
fiqh
yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalammemahami
nash-nash
yang tidak pasti tersebut.Abduh sangat menghargai para
mujtahid
dari madzhab apapun. Menurutnya,mereka adalah orang-orang yang telah mengorbangkan kemampuannya yangmaksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang
ikhlas
serta
ketaqwaan
yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagaitempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa beranimelakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalamsemua hal adalah kemustahilan.Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil
ijtihad
ulamamasa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar.Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembalikepada sumber asli . Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus
4
dilakukan oleh umat Islam - sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam- yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajibmelakukan
ijtihad
langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini
ijtihad
dituntut, karena kekosongan
ijtihad
dapat menyebabkan mereka akanmencari keputusan hukum di luar ketentuan
syara’
. Dalam perkembangan zaman,tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Olehkarena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil
ijtihad
ulama terdahulu, agar hasil
ijtihad
itu selalu sesuai dengan situasi dankondisinya. Jadi yang mereka
ijtihadkan
bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil
ijtihad
terdahulu.Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalahmengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkankedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiapdikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahuidasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengansikap ini, umat Islam akan selamat dari bahaya
taklid
. Abduh berpendapat bahwakebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atausuatu
madzhab
tertentu.Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduhadalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari
nash
yang ditempuholeh seorang
mujtahid
tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil
mujtahid
tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam
beristinbath
hukum . Dengandemikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami,tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Merekaini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapatdihindari dan sikap
taklid
bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah
mujtahid
mengikuti hasil
ijtihad
yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam.Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan dikalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan
taklid
tidak bisadihindarkan.Abduh menuding para
fuqaha
sesudah
mujtahid
sebagai peletak batu pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluashasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengansegala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran
madzhab
yang bersumber dari
fuqaha
. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab alQur’an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yangmembawa kitab tersebut.Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepadaal Qur’an dan as Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkanijtihad di kalangan intelektual dan mengikis
taklid
buta dalam masyarakat. Beliaumembandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudiyang
taklid
kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allahdalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelahmemperoleh kejayaan.Tantangannya yang keras terhadap
taklid
tampaknya juga dilandasi oleh pandangan teologinya yang memberikan harkat yang tinggi kepada manusiadengan anugerah akal yang ada padanya, di samping kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut. Dengan keduanya, seharusnya manusia juga mampumemahami
nash-nash
yang
mujmal
. Dengan demikian manusia tidak selayaknyatunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang lain tanpa memikirkan alasan-alasanyang mendasari pendapat tersebut. Walaupun beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup
berijtihad
. Akan tetapi bagi mereka yang awan pun
taklid
tidak boleh dilakukan.
6
Di samping itu, agaknya apa yang dia saksikan di Barat juga merupakansalah satu sebab tantangannya yang keras terhadap
taklid
. Dia melihat kemajuan barat yang menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya mereka dariikatan
taklid
dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam berpikir danmemahami sesuatuTampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu bisaditerapkan di kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat jugadirasakan kaum muslimin dengan lebi baik.
2. Bagian Aqidah
Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiranmu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risâlah Tauhîd.Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang
qada
dan
qadar
sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya diatidak menyebut soal
qada
dan
qadar
sebagai salah satu pilar-pilar keimanan,tetapi dia memasukkan masalah ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah. Rupanya, pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapatgurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang masalah
qada
' dan
qadar
akan menbawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahamanyang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran.Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yangdilihat olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupunkondisi Mesir sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidahyang dianut umumnya umat Islam ketika itu, yaitu paham
qada'
dan
qadar
yangtelah berwujud fatalisme, yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statisdan beku. Konsekuensinya, umat semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.
Sumber : http://www.scribd.com/doc/6121726/Sejarah-Dan-Pemikiran-Muhammad-Abduh-New
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar